
Bersama Mas Yoko dan Mas Heru dari TVONE kami berangkat dari Hotel Winotosastro Garden menuju Desa Giring di Gunung Kidul. Tujuannya makam Ki Ageng Giring. Kami didampingi Mbak Yayan yang akan menjadi pemandu kami di petilasan bersejarah tersebut. Sehari sebelumnya Mas Yoko melakukan liputan pernikahan putri ketiga Sultan Hamengku Buwono X di Kraton Jogja dan kini berencana menelusuri sejarah Mataram yang akan dikemas dalam tayangan feature. Kebetulan Mbak Yayan memiliki seorang bulik, ibu cilik, atau tante yang tinggal dan mengabdikan diri di sekitar situs Ki Ageng Giring.
Di tengah perjalanan saya mendapatkan pelajaran amat berharga. Sejak pertama bergabung dengan Elang saya memang ingin mempelajari segala hal mengenai media audio-visual dan piranti-pirantinya. Dan inilah pertama kalinya saya menyentuh kamera berstandar broadcast! Tahu ga seh kamera standar broadcast bertipe Panasonic DvcPro ini wujudnya saja sudah sangar, bobot batereinya sekitar 3-4 kilogram, viewfinder-nya hitam-putih, tidak seperti kamera Panasonic AGDV dan handycam yang biasa saya bawa petentang-petenteng ...
Saya dibimbing memahami kinerja lensa, white balance, zoom, focus, iris, dan kawan-kawannya. Pelajaran lain yang juga sebegitu berharga adalah bagaimana memperlakukan kamera. Tentu butuh waktu dan proses lama untuk bisa benar-benar “berteman” dengan si kamera tapi sejak awal kita harus memulai hubungan ini dengan tulus ... Yang jelas kamera bukan ornamen untuk bersolek, tidak untuk dianggap cameraman atau broadcaster, tidak untuk meloloskan diri dari razia lalu-lintas.
Dalam kesempatan ini saya sekaligus berkenalan dengan boom mic, alat pengambil suara yang berbulu. Fungsi bulu-bulu ini untuk meredam suara sekitar, terutama angin, yang potensial mengganggu kualitas audio. Hmm saat pertama kali mengoperasikan tripod saya kagok juga. Ini tripod raksasa yang pernah saya lihat. Cara membawanya harus dipikul, kalau cuma ditenteng pasti kepayahan. Kalau setiap hari membawanya badan saya bisa seperti Ade Rai ... Oh ya, satu lagi, kekatrokan saya belum selesai. Kamera, boom, tripod ini kalau harganya dijumlahkan ternyata seharga satu mobil baru kelas menengah! Serius. Gila, seru!
Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul, setahu saya gersang. Tapi di kanan-kiri saya ternyata rindang. Cocok untuk pacaran ... Petilasan yang kami tuju sangat sejuk, rindang, asyik. Sebuah pohon besar bersanding dengan Padepokan Ki Ageng Giring. Usia pohon berdiameter tiga meteran itu itu ratusan tahun. Di padepokan terdapat sendang yang kabarnya ada karena Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah. Air yang muncul digunakan untuk wudhu sebelum sholat. Dengan ijin bulik Mbak Yayan kami mengambil gambar di sekitar makam.
Di makam kami mengadakan ritual kecil dengan dupa --- untuk memperoleh permit dari penunggu makam. Kemudian kami mewawancarai jurukuncinya. Konon tempat ini sering menjadi tujuan para pencari kekuasaan dan kejayaan. Juga jujukan para jomblo! Tapi jika banyak pejabat atau calon pejabat kerap mengunjungi tempat ini tentu bukan karena mereka jomblo ...
Dari petilasan Ki Ageng Giring kami bergerak ke petilasan Ki Ageng Nurboyo di Mangir, Bantul. Waktu tempuhnya hampir empat jam karena kami belum mengetahui tempat pastinya. Tempat ini kabarnya memang dibiarkan “tidak populer”. Dari obrolan dan ingatan pada judul naskah lakon karya Pramoedya Ananta Toer barangkali hal ini terkait sejarah Ki Ageng Mangir yang mbalelo terhadap Kraton.
Gapura menyerupai model gapura Bali menyambut kami di Petilasan Nurboyo. Tempatnya sendiri berbentuk kotak berpagar, dilindungi dua pohon besar. Sayang kami tiba menjelang maghrib sehingga tidak memiliki banyak waktu. Bukan karena horror tapi karena kamera tidak mungkin bekerja tanpa lampu. Sama dengan petilasan Giring tempat inipun menjadi favorit para pencari kekuasaan. Kalau mereka tidak apa-apa ke sana tanpa lampu ...

Liputan selanjutnya di daerah Pajeksan. Para crew televisi ini tampaknya tidak punya pusar, tidak kenal lelah, lupa yang namanya puas. Apalagi tema dan materinya juga berbeda. Kali ini tradisi minum. Tempat yang dituju penuh anak muda yang asyik menenggak lapen. Feeling saya agak kalang-kabut di sini tapi berusaha tetap tenang. Dan sungguh permintaan reportase kami ditolak mentah-mentah. Tapi kami juga tidak gampang nyerah. Melalui pendekatan pada seorang “penguasa” setempat akhirnya kami memperoleh ijin, meskipun tidak serta-merta ijin itu berlaku bagi orang yang menolaknya.
Tempat yang dulu sepi itu kini dipenuhi anak-anak muda, termasuk mahasiswa dan seniman, dan kini telah membentuk suatu komunitas. Suatu kelompok yang disatukan minuman yang mereka sebut “air perdamaian”. Tempat minum itu menurut saya memang suasananya agak ekstrem. Sungguh bikin saya deg-degan. Beruntung pendekatan para profesional pertelevisian di sekeliling saya ini sangat bagus. Anak-anak muda ini tidak di-approach untuk sekedar memuluskan jalan tapi digandeng ke lingkup pertemanan. Sehingga muncullah aneka kisah menyangkut tradisi menenggak minuman keras tradisional itu yang dituturkan dengan tulus dan gamblang. Perasaan cemas sedikit demi sedikit musnah. Orang-orang menakutkan itu menjadi menarik sebagai satu episode kecil dalam kehidupan malam.
Tapi kedamaian kami terusik oleh (lagi-lagi) mereka yang tidak suka kami melakukan liputan di sana. Toh gambar dan informasi yang kami peroleh sudah memadai. Jadi kami bisa keluar tanpa beban. Meskipun Mas Cameraman juga tanpa mematikan kameranya ... Saya kembali ke hotel dengan tubuh terasa enteng dan hangat – karena sempat mencicipi minuman yang disuguhkan ... Tidak baik menolak suguhan tuan rumah kan?
Lewat tengah malam akhirnya saya berpamitan dengan semua rekan crew. Amazing. Pengalaman mengesankan dan sangat menggairahkan hidup saya. Denger-denger kesempatan ini diberikan pada saya karena saya dinilai konsisten meskipun sering diomeli. Hal ini tidak membuat saya membusungkan dada tapi menjadi pengalaman penting untuk selalu introspeksi dan memandang dengan jernih. Kakak-kakak di Elang kadang memang galak tapi kata Aristoteles “dasar-dasar pendidikan itu pahit tapi buahnya manis”.
Hari ini saya memang belajar lebih dalam tentang media audio-visual dan peralatan-peralatannya tapi yang paling penting adalah pelajaran tentang sudut-sudut lain kehidupan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
Dento Budi Jaya Putra