Rabu, 06 Agustus 2008

Talk Show HUMANIORA DALAM PENDIDIKAN

Sabtu 14 Juni 2008

Ruang Kepodang Taman Komunikasi Kanisius Yogyakarta

Panelis

I Made Sutama – Kepala UNICEF Jateng – DIY

YB. Priyanahadi – Direktur KANISIUS

Petra Djadug Ferianto – Representatif Orangtua

Moderator

Firly Annisa – Dosen Ilmu Komunikasi UMY

Usai pemutaran film SEKOLAHKU RUMAHKU bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2008 seorang ibu menyatakan film itu “seperti mimpi”. Begitu idealnya hubungan murid dan guru di sekolah. Sementara kenyataannya banyak guru tidak memiliki cukup waktu karena disibukkan hal-hal menyangkut sertifikasi. Sebaliknya ada guru yang justru menganggap orangtua terlalu menguasai anaknya: si anak dikotak-kotak ke dalam les demi les. Sehingga akses guru untuk berdialog dengan murid-muridnya menjadi sangat terbatas. Konflik tersebut yang rentan terjadi dalam dunia pendidikan saat ini jelas melebarkan jarak dengan elemen-elemen humaniora yang justru sangat dibutuhkan sebagai pondasi pertumbuhan seorang anak.

Diskusi ini di satu sisi mewadahi “benturan” di antara kedua kubu tersebut namun diharapkan juga menjadi titik pijak untuk mengembalikan pendidikan ke substansinya – yang berpihak pada pengembangan dan pematangan anak – sekaligus mengolah gagasan-gagasan baru yang akan menyegarkan dunia pendidikan Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kian kompleks.


Rabu, 18 Juni 2008

Talk Show ANAK DAN (MEDIA) TELEVISI

Minggu 15 Juni 2008

Ruang Kepodang Taman Komunikasi Kanisius Yogyakarta


Panelis

Lusia Pratidarmanastiti – Psikolog, Dosen Universitas Sanata Dharma

Supit Raharjo – Representatif Guru

Moderator

Widia Listyowulan – Dosen Universitas Islam Indonesia

Sulit diingkari televisi saat ini menjadi “teman” yang paling lekat dengan anak-anak. Padahal tayangan tv didominasi program-program yang dibuat dengan landasan yang labil, yang hanya berorientasi pada angka, sementara unsur pendidikan yang semestinya terkandung di dalamnya tidak mungkin dikalkulasi. Bahkan program yang ditujukan untuk anakpun tidak pernah benar-benar demi anak itu sendiri. Anak-anak terhibur tapi kehilangan space untuk berinteraksi dengan teman-teman dan realitas di sekelilingnya. Permainan komunal semakin jarang terlihat. Namun mereka begitu antusias memainkan playstation atau game di komputer. Mereka berinteraksi dan berempati dengan teman-teman virtual.

Tentu tidak mudah menghadapi keadaan semacam ini bagi orangtua maupun guru yang sudah disibukkan keruwetan sehari-hari. Belum lagi jika para orang dewasapun memiliki ketergantungan pada televisi. Diskusi ini diharapkan menguraikan benang kusut persoalan kompleks yang samar itu dan menjadi langkah awal untuk bersikap mandiri terhadap televisi, dengan menciptakan atmosfer yang lebih kondusif bagi anak maupun dengan mengintensifkan program-program yang dibuat di atas pondasi yang kokoh sebagai pijakan perkembangan mereka.


Minggu, 15 Juni 2008

Screening Film UNICEF "Sekolahku Rumahku" (1)

Para “alumni” Workshop Who Wants to be TV Presenter / Reporter yang diselenggarakan April 2008 di Pusat Kebudayaan Indonesia – Belanda Karta Pustaka yang tergabung dalam Elang Discovery Club memperoleh kehormatan dari OrcaFilms dan Unicef untuk menyelenggarakan pemutaran perdana film Sekolahku Rumahku. Pemutaran film produksi OrcaFilms dan Unicef yang dibintangi aktor Theodorus Christanto, model yang juga aktris Aditya Novika, Duta Lingkungan yang juga mantan presenter tv Valerina Daniel, serta para guru dan murid dari sejumlah sekolah dasar ini digelar 2 – 4 Mei 2008 di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Persiapan yang mepet memang berakibat ke jumlah penonton yang minim. Hal ini disesalkan juga oleh penonton sendiri. Ada yang mengatakan, “Promosi buruk. Sayang untuk sebuah film bagus.” Hiks. Tampaknya kami juga belum bener menulis rilis untuk media sehingga tidak ada media yang tertarik. Ada sepasang kru tv lokal tapi mereka hanya menonton saja. Mungkin bagi mereka ini film tidak bagus, tapi kok kontras ya sama pendapat sebagian besar penonton ... Kakak-kakak wartawan lainnya mungkin sibuk dengan hardnews demo guru pas Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, meskipun keesokan harinya ada juga berita tentang perayaan Hardiknas bersama Walikota. Yaa kalau kalkulasinya tokoh di program pemutaran film Sekolahku Rumahku memang tidak ada “tokoh penting”nya ... Sebetulnya bukan kami yang ingin jadi berita tapi kami ingin banyak orang bisa menikmati film yang reflektif ini. It’s okay, yang penting kami telah melakukan sesuatu yang dirasa penting oleh mereka yang berkesempatan mengikutinya.

Pemutaran disertai diskusi “Refleksi Pendidikan Dasar” bersama I Made Sutama (Kepala Unicef Jawa Tengah – DI. Yogyakarta), Taruna Tukiman (Education Officef Unicef), Adam Herdanto (Produser OrcaFilms), Tri Budi Santosa serta Sri Purwaningtyas (Representatif Guru) yang berlangsung gayeng. Sampai Mbak Chantal Bezuijen dari Unicef Belanda antusias mengikutinya meskipun tidak memahami bahasanya.

Banyak orangtua memanfaatkan diskusi ini untuk “curhat” bahwa keadaan di sekolah sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan film Sekolahku Rumahku. Dalam kenyataan yang mereka hadapi, guru lebih sibuk mengurusi sertifikasi ketimbang menjadi teman bagi murid-muridnya. Sebaliknya ada kalangan pendidik yang menyatakan orangtua kini menjelma seperti “manajer” yang mengekang anaknya dengan target-target dan angka.

Itu sebabnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) – yang menjadi latar pembuatan film Sekolahku Rumahku – diupayakan mengembalikan pendidikan ke substansinya. Menurut Pak Made, jika sistem pendidikan dijalankan sesuai esensinya tidak ada yang perlu dicemaskan dari UAS misalnya. Anak akan merasa nyaman belajar karena berada di lingkungan yang memang mendukungnya. Tidak ada guru yang kaku dan sok tahu, tidak ada pelajaran yang horror.

Pemutaran Sekolahku Rumahku disempurnakan kehadiran para pemerannya. Ada Pak Abu Nasrun, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah I Solo, yang bermain gemilang sebagai tukang becak yang marah pada sistem pendidikan. Ada Pak Sarjono yang sehari-harinya adalah seorang guru yang humoris tapi di film menitikkan airmata sampai bikin kita trenyuh. Ada juga Pak Supit Raharjo, guru SD Sekip II Solo, yang memerankan tokoh Pak Oyon yang selalu sarkas dan sinis terhadap keadaan; Pak Drajat Mulyawan, guru SDN 15 Solo, yang bermain sebagai Marsudi, seorang buruh yang ditempa kerasnya kehidupan sampai menjadi sangat keras pada Andi anaknya; Pak Jumali yang di film tampil sebagai Pak Bon Nasim yang sebersahaja dirinya sendiri. Mbak Aditya Novika, pemeran Rike wanita karier dan single parent yang sangat protektif, juga hadir. Dan Dedi Satria, pemeran Iwan, memuaskan keingintahuan para penonton yang jatuh cinta padanya ...



Sementara di luar ruang pemutaran semarak dengan adanya workshop pembuatan gantungan kunci boneka tali rami serta perpustakaan kaget yang digelar Komunitas 1001 Buku. Peserta workshop ternyata bukan cuma anak-anak tapi juga para kawak-kawak ... Betul juga orang bilang sisi anak-anak tidak pernah benar-benar lepas dari diri kita.

Saat melihat semua penonton antusias menuliskan dan menyampaikan komentarnya kami sungguh senang telah menyelenggarakan pemutaran film Sekolahku Rumahku sebagai “children festival” kecil-kecilan yang membuat banyak orang senang ...


Senin, 12 Mei 2008

Satu Hari untuk Selamanya

Sabtu 10 Mei saya terjaga lebih pagi dari matahari. Hari itu saya memperoleh kesempatan dari Elang Discovery Club untuk melakukan reportase bersama sejumlah jurnalis televisi nasional. Dan hanya saya siswa SMA yang akan berada di tengah mereka! Terima kasih untuk Kepala Sekolah dan guru-guru SMA Sang Timur yang mengijinkan saya untuk tidak melewatkan kesempatan langka nan istimewa ini.

Bersama Mas Yoko dan Mas Heru dari TVONE kami berangkat dari Hotel Winotosastro Garden menuju Desa Giring di Gunung Kidul. Tujuannya makam Ki Ageng Giring. Kami didampingi Mbak Yayan yang akan menjadi pemandu kami di petilasan bersejarah tersebut. Sehari sebelumnya Mas Yoko melakukan liputan pernikahan putri ketiga Sultan Hamengku Buwono X di Kraton Jogja dan kini berencana menelusuri sejarah Mataram yang akan dikemas dalam tayangan feature. Kebetulan Mbak Yayan memiliki seorang bulik, ibu cilik, atau tante yang tinggal dan mengabdikan diri di sekitar situs Ki Ageng Giring.

Di tengah perjalanan saya mendapatkan pelajaran amat berharga. Sejak pertama bergabung dengan Elang saya memang ingin mempelajari segala hal mengenai media audio-visual dan piranti-pirantinya. Dan inilah pertama kalinya saya menyentuh kamera berstandar broadcast! Tahu ga seh kamera standar broadcast bertipe Panasonic DvcPro ini wujudnya saja sudah sangar, bobot batereinya sekitar 3-4 kilogram, viewfinder-nya hitam-putih, tidak seperti kamera Panasonic AGDV dan handycam yang biasa saya bawa petentang-petenteng ...

Saya dibimbing memahami kinerja lensa, white balance, zoom, focus, iris, dan kawan-kawannya. Pelajaran lain yang juga sebegitu berharga adalah bagaimana memperlakukan kamera. Tentu butuh waktu dan proses lama untuk bisa benar-benar “berteman” dengan si kamera tapi sejak awal kita harus memulai hubungan ini dengan tulus ... Yang jelas kamera bukan ornamen untuk bersolek, tidak untuk dianggap cameraman atau broadcaster, tidak untuk meloloskan diri dari razia lalu-lintas.

Dalam kesempatan ini saya sekaligus berkenalan dengan boom mic, alat pengambil suara yang berbulu. Fungsi bulu-bulu ini untuk meredam suara sekitar, terutama angin, yang potensial mengganggu kualitas audio. Hmm saat pertama kali mengoperasikan tripod saya kagok juga. Ini tripod raksasa yang pernah saya lihat. Cara membawanya harus dipikul, kalau cuma ditenteng pasti kepayahan. Kalau setiap hari membawanya badan saya bisa seperti Ade Rai ... Oh ya, satu lagi, kekatrokan saya belum selesai. Kamera, boom, tripod ini kalau harganya dijumlahkan ternyata seharga satu mobil baru kelas menengah! Serius. Gila, seru!

Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul, setahu saya gersang. Tapi di kanan-kiri saya ternyata rindang. Cocok untuk pacaran ... Petilasan yang kami tuju sangat sejuk, rindang, asyik. Sebuah pohon besar bersanding dengan Padepokan Ki Ageng Giring. Usia pohon berdiameter tiga meteran itu itu ratusan tahun. Di padepokan terdapat sendang yang kabarnya ada karena Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke tanah. Air yang muncul digunakan untuk wudhu sebelum sholat. Dengan ijin bulik Mbak Yayan kami mengambil gambar di sekitar makam.

Di makam kami mengadakan ritual kecil dengan dupa --- untuk memperoleh permit dari penunggu makam. Kemudian kami mewawancarai jurukuncinya. Konon tempat ini sering menjadi tujuan para pencari kekuasaan dan kejayaan. Juga jujukan para jomblo! Tapi jika banyak pejabat atau calon pejabat kerap mengunjungi tempat ini tentu bukan karena mereka jomblo ...

Dari petilasan Ki Ageng Giring kami bergerak ke petilasan Ki Ageng Nurboyo di Mangir, Bantul. Waktu tempuhnya hampir empat jam karena kami belum mengetahui tempat pastinya. Tempat ini kabarnya memang dibiarkan “tidak populer”. Dari obrolan dan ingatan pada judul naskah lakon karya Pramoedya Ananta Toer barangkali hal ini terkait sejarah Ki Ageng Mangir yang mbalelo terhadap Kraton.

Gapura menyerupai model gapura Bali menyambut kami di Petilasan Nurboyo. Tempatnya sendiri berbentuk kotak berpagar, dilindungi dua pohon besar. Sayang kami tiba menjelang maghrib sehingga tidak memiliki banyak waktu. Bukan karena horror tapi karena kamera tidak mungkin bekerja tanpa lampu. Sama dengan petilasan Giring tempat inipun menjadi favorit para pencari kekuasaan. Kalau mereka tidak apa-apa ke sana tanpa lampu ...

Liputan selanjutnya di daerah Pajeksan. Para crew televisi ini tampaknya tidak punya pusar, tidak kenal lelah, lupa yang namanya puas. Apalagi tema dan materinya juga berbeda. Kali ini tradisi minum. Tempat yang dituju penuh anak muda yang asyik menenggak lapen. Feeling saya agak kalang-kabut di sini tapi berusaha tetap tenang. Dan sungguh permintaan reportase kami ditolak mentah-mentah. Tapi kami juga tidak gampang nyerah. Melalui pendekatan pada seorang “penguasa” setempat akhirnya kami memperoleh ijin, meskipun tidak serta-merta ijin itu berlaku bagi orang yang menolaknya.

Tempat yang dulu sepi itu kini dipenuhi anak-anak muda, termasuk mahasiswa dan seniman, dan kini telah membentuk suatu komunitas. Suatu kelompok yang disatukan minuman yang mereka sebut “air perdamaian”. Tempat minum itu menurut saya memang suasananya agak ekstrem. Sungguh bikin saya deg-degan. Beruntung pendekatan para profesional pertelevisian di sekeliling saya ini sangat bagus. Anak-anak muda ini tidak di-approach untuk sekedar memuluskan jalan tapi digandeng ke lingkup pertemanan. Sehingga muncullah aneka kisah menyangkut tradisi menenggak minuman keras tradisional itu yang dituturkan dengan tulus dan gamblang. Perasaan cemas sedikit demi sedikit musnah. Orang-orang menakutkan itu menjadi menarik sebagai satu episode kecil dalam kehidupan malam.

Tapi kedamaian kami terusik oleh (lagi-lagi) mereka yang tidak suka kami melakukan liputan di sana. Toh gambar dan informasi yang kami peroleh sudah memadai. Jadi kami bisa keluar tanpa beban. Meskipun Mas Cameraman juga tanpa mematikan kameranya ... Saya kembali ke hotel dengan tubuh terasa enteng dan hangat – karena sempat mencicipi minuman yang disuguhkan ... Tidak baik menolak suguhan tuan rumah kan?

Lewat tengah malam akhirnya saya berpamitan dengan semua rekan crew. Amazing. Pengalaman mengesankan dan sangat menggairahkan hidup saya. Denger-denger kesempatan ini diberikan pada saya karena saya dinilai konsisten meskipun sering diomeli. Hal ini tidak membuat saya membusungkan dada tapi menjadi pengalaman penting untuk selalu introspeksi dan memandang dengan jernih. Kakak-kakak di Elang kadang memang galak tapi kata Aristoteles “dasar-dasar pendidikan itu pahit tapi buahnya manis”.

Hari ini saya memang belajar lebih dalam tentang media audio-visual dan peralatan-peralatannya tapi yang paling penting adalah pelajaran tentang sudut-sudut lain kehidupan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.

Dento Budi Jaya Putra

Rabu, 07 Mei 2008

Menjadi Diri Sendiri


Berawal ketika aku dan beberapa temanku (Rere, Dento, Danan) melihat poster terpampang di papan mading sekolahku, tentang workshop reportase yang akan diadakan Elang Youth Development. Namun kami begitu tersentak ketika kami tidak sanggup membayar biaya pendaftaran karena uang tabungan kami sangat tipis.

Nah, malam itu 16 April 2008. Setelah pulang dari latihan basket, dengan keringat yang begitu banyak dan bau tubuh yang sedikit menjijikkan kami memutuskan untuk ngamen di daerah tongkrongan anak-anak muda (pocinan). Cuma bermodal gitar dan tenaga untuk bernyanyi dan berjalan kaki, kami akhirnya dapat mengumpulkan uang walaupun masih jauh dari cukup. Kemudian kami berpikir apa yang mesti kami lakukan lagi.
Wow, setelah kami sadar bahwa kami mempunyai banyak harta barang bekas di rumah, kami
segera mengumpulkannya dan menjualnya, hasilnya lumayan kok..

Cuma kurang sedikit, he..he..he.. tapi karena kebaikan hati panitia workshop akhirnya keesokan hari walau dengan bermodal uang yang lumayan tak cukup kami boleh mengikuti workshop.
Beraw
al dari kenekatan kami untuk mengikuti workshop hingga sekarang kami malah ikut nyemplung dalam Elang Youth Development, bahkan sekarang kami mampu mengadakan launching film Sekolahku Rumahku pada tanggal 2-4 Mei 2008 bekerja sama dengan banyak pihak terutama UNICEF. Aku bangga menjadi aku sendiri...hee.. – Pauline


*) Dimuat di Rubrik "Kaca" Harian Kedaulatan Rakyat 6 Mei 2008

Kamis, 17 April 2008

Workshop WHO WANTS TO BE A TV PRESENTER / REPORTER


Elang Youth Development bekerja-sama dengan Metanewsroom dan Pusat Kebudayaan Indonesia – Belanda “Karta Pustaka” menyelenggarakan Workshop Who Wants to be a TV Presenter / Reporter untuk pelajar SMA 11 – 12 April 2008 di Kompleks Karta Pustaka, Jl. Bintaran Tengah Yogyakarta.

19 peserta dari SMA Negeri 6, SMA Pangudi Luhur, SMA St. Mikael, SMA Sang Timur, SMA Bopkri II, dan SMK Putratama mengikuti sesi-sesi yang diberikan oleh Mbak Tri Ambarwatie (News Producer TPI, mantan Reporter & Presenter Senior Liputan 6 SCTV), Mas Kasan Kurdi (Video Journalist Associated Press Television News / APTN), Mbak Aditya Novika (Aktris, model, & presenter freelance), serta Mas Adam Herdanto (Produser OrcaFilms, mantan Country Director Telemedia, Budapest, Hungaria); kemudian mempraktekannya dengan terjun langsung ke lapangan.

Program workshop ini lebih ditujukan untuk pengembangan diri masing-masing peserta. Bagaimana mengembangkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, merumuskan permasalahan, mengungkapkannya ke dalam naskah yang terstruktur namun menggunakan bahasa mereka sendiri, dan menyampaikannya ke pihak lain (pemirsa).

Di bilangan Bintaran dan Pakualaman para peserta bebas mencari segala hal yang memiliki “nilai berita” – melakukan observasi, reportase, menulis naskah berita, dan pada tahap berikutnya stand up mempresentasikan beritanya di depan camera (on screen) sekaligus mewawancarai narasumber. Satu peserta satu berita. Sineas muda Arief Ermawan dan editor OrcaFilms Riva Aulia Rais menjadi cameraman mereka. Sebelum take mereka mendiskusikan teknis pengambilan gambar, dari posisi stand up hingga angle kamera yang sebelumnya sudah dirancang para peserta.


Yosafat dari SMA Bopkri II misalnya, dengan jeli membuat voice over / narasi sebagai “opening” reportasenya di Museum Sasmitaloka Jenderal Sudirman. Suatu hal yang justru tidak dilakukan peserta senior yang saat bersamaan tengah mengikuti Workshop “Going Live”. Rere dari SMA Sang Timur juga “mengalahkan” kelas senior yang diikuti personel tv lokal, staf NGO, hingga dosen dan mahasiswa Ilmu Komunikasi / Broadcasting, setelah liputannya mengenai penjual keris di trotoar Alun-Alun Pakualaman terasa lebih komprehensif, lebih mewakili keingintahuan pemirsa. Sebagian peserta gigih melakukan lobbying sehingga akhirnya berhasil menembus sumber-sumber berita. Presti, Dede, dan Ninyo meramaikan Museum Biologi yang selama ini senyap. Jika para senior mentok sampai di gerbang Kraton Pakualaman, Dhias sukses mewawancarai adik kandung Sri Paku Alam IX.

Dalam proses ini terlihat pula hal-hal lucu yang boleh jadi merepresentasikan dunia remaja saat ini. Simak wawancara seorang peserta dengan staf Museum Sudirman : “Lho kalau lapangan badminton ini sudah lama atau baru, Pak?”

“Ooh sudah lama.”

“Ooh jadi Beliau senang olahraga badminton Pak ya?”

Meskipun nunggu cameramannya lama dan saya juga sempat melaksanakan “panggilan alam”, trus tidur dan makan di angkringan, tapi akhirnya lancar juga. Untung dapet narasumber yang baik jadi mau nunggu sampe jam 13, padahal museum tutup jam 12 ... Pokoknya seneng banget dah! Dapet pengalaman baru dan temen-temen baru. Sering-sering diadain yuuu ... – Anne Ninyo

Untuk acara, waktu, dan handout mohon dipersiapkan lebih baik lagi. Jangan molor-molor. Acara workshop ini sudah bagus dan sangat berguna untuk mengembangkan talenta kami. Thanks! – Yosafat Theo

Banyak banget yang buat aku seneng hari ini. Mulai dari capek muter-muter cari tempat dan obyek maupun jadi reporter yang ternyata tidak gampang. Tapi saya senang sekali. Lain waktu dibikin lebih hidup dan meriah lagi ya. – Elisabeth Kartika E.A.

Bagus, asyik, nambah pengalaman. Baiknya camera dipegang sama peserta dengan ada pembimbing, jadi saling belajar satu dengan lainnya. Pingin ikutan yang selanjutnya, pingin dalamin lagi. Dah gak tahan nih! Aku tunggu janji kalian!!! – Dento Budi Jaya Putra

Buat aku ini sangat berharga sekali karena baru kali ini aku dapat berlatih menjadi seorang presenter yang baik. Namun prakteknya ancur! Tapi aku juga ingin terus berusaha dan nggak berkecil hati. Buat Mas dan Mbaknya trims sekali sudah capek-capek. Ada lagi ya, nek iso jam sekolah ... hahaha – Danantyo Arvianto

I like it!!!

Soale acarane :

  1. Mengenyangkan dan memuaskan.
  2. Memberi kebebasan pada saya untuk creative.
  3. Membuat satu pengalaman yang gila tapi formal.
  4. Mas dan mbak’e keren kabeh!

Besok ono meneh yooo ... – Garudea Prabawati

Hari ini asyik ... rada nyebai ... tapi memuaskan. Keren banget! Aku jadi pengen ikut lagi. Contact me yach Kakak kalo ada event kayak gini lagi. Aku suka kalian yang gila ...! – Pauline

Kegiatan workshop ini telah membuat saya semakin mantap, semakin semangat dan yakin. Banyak yang saya dapatin, gak cuma pengalaman yang nyenengin tapi juga kritik yang tentunya membuat saya semakin ingin menjadi lebih baik. Ternyata praktek lapangan tidak semudah yang saya bayangkan. Saya senang mengikuti workshop ini, banyak teman dan tentunya semakin percaya diri. Workshop seperti ini baiklah diadakan lagi, tak cukup hanya sekali ini ... – Anastasia Dwiayu