Persiapan yang mepet memang berakibat ke jumlah penonton yang minim. Hal ini disesalkan juga oleh penonton sendiri. Ada yang mengatakan, “Promosi buruk. Sayang untuk sebuah film bagus.” Hiks. Tampaknya kami juga belum bener menulis rilis untuk media sehingga tidak ada media yang tertarik. Ada sepasang kru tv lokal tapi mereka hanya menonton saja. Mungkin bagi mereka ini film tidak bagus, tapi kok kontras ya sama pendapat sebagian besar penonton ... Kakak-kakak wartawan lainnya mungkin sibuk dengan hardnews demo guru pas Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, meskipun keesokan harinya ada juga berita tentang perayaan Hardiknas bersama Walikota. Yaa kalau kalkulasinya tokoh di program pemutaran film Sekolahku Rumahku memang tidak ada “tokoh penting”nya ... Sebetulnya bukan kami yang ingin jadi berita tapi kami ingin banyak orang bisa menikmati film yang reflektif ini. It’s okay, yang penting kami telah melakukan sesuatu yang dirasa penting oleh mereka yang berkesempatan mengikutinya.


Pemutaran disertai diskusi “Refleksi Pendidikan Dasar” bersama I Made Sutama (Kepala Unicef Jawa Tengah – DI. Yogyakarta), Taruna Tukiman (Education Officef Unicef), Adam Herdanto (Produser OrcaFilms), Tri Budi Santosa serta Sri Purwaningtyas (Representatif Guru) yang berlangsung gayeng. Sampai Mbak Chantal Bezuijen dari Unicef Belanda antusias mengikutinya meskipun tidak memahami bahasanya.
Banyak orangtua memanfaatkan diskusi ini untuk “curhat” bahwa keadaan di sekolah sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan film Sekolahku Rumahku. Dalam kenyataan yang mereka hadapi, guru lebih sibuk mengurusi sertifikasi ketimbang menjadi teman bagi murid-muridnya. Sebaliknya ada kalangan pendidik yang menyatakan orangtua kini menjelma seperti “manajer” yang mengekang anaknya dengan target-target dan angka.
Itu sebabnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) – yang menjadi latar pembuatan film Sekolahku Rumahku – diupayakan mengembalikan pendidikan ke substansinya. Menurut Pak Made, jika sistem pendidikan dijalankan sesuai esensinya tidak ada yang perlu dicemaskan dari UAS misalnya. Anak akan merasa nyaman belajar karena berada di lingkungan yang memang mendukungnya. Tidak ada guru yang kaku dan sok tahu, tidak ada pelajaran yang horror.
Pemutaran Sekolahku Rumahku disempurnakan kehadiran para pemerannya. Ada Pak Abu Nasrun, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah I Solo, yang bermain gemilang sebagai tukang becak yang marah pada sistem pendidikan. Ada Pak Sarjono yang sehari-harinya adalah seorang guru yang humoris tapi di film menitikkan airmata sampai bikin kita trenyuh. Ada juga Pak Supit Raharjo, guru SD Sekip II Solo, yang memerankan tokoh Pak Oyon yang selalu sarkas dan sinis terhadap keadaan; Pak Drajat Mulyawan, guru SDN 15 Solo, yang bermain sebagai Marsudi, seorang buruh yang ditempa kerasnya kehidupan sampai menjadi sangat keras pada Andi anaknya; Pak Jumali yang di film tampil sebagai Pak Bon Nasim yang sebersahaja dirinya sendiri. Mbak Aditya Novika, pemeran Rike wanita karier dan single parent yang sangat protektif, juga hadir. Dan Dedi Satria, pemeran Iwan, memuaskan keingintahuan para penonton yang jatuh cinta padanya ...
Saat melihat semua penonton antusias menuliskan dan menyampaikan komentarnya kami sungguh senang telah menyelenggarakan pemutaran film Sekolahku Rumahku sebagai “children festival” kecil-kecilan yang membuat banyak orang senang ...



